Kamis, 07 Januari 2016

CERPEN DUNIA SATU WARNA

Debur ombak malam di tepi lautan masih menusuki pori-pori kulit. Gadis mungil itu merapatkan jaket tebal yang dirasa masih kurang. Lelehan air mata telah mengering memoles wajah pucat tanpa daya. Selagi di pantai, ia bisa langsung bertatap muka dengan ombak. Meskipun kaki lemahnya tidak lagi ingin melangkah kembali, ada suatu penguat yang bisa mencerahkan mendung di wajah Rania.
“Aku harus ninggalin kamu, dan kamu harus tinggalin aku…” tuturan yang nyaris ditelan ombak malam ia dalami seorang diri. “Re, cinta itu penuh dengan masa silam kamu dan masa depan aku. Selamanya…” Rania menghela napas panjang. Ditatapi satu-satu bintang yang masih bercecer di langit sana. “Kita cuma ada di satu dunia yang sama. Satu kehidupan, yang kadang nggak ngizinin kita memilih option seenaknya,” dalam nada yang mulai hilang, gadis itu perlahan kian berjalan menjauhi lautan.
Sesuatu yang pernah dirasakan dadanya kembali ke permukaan. Di samping kiri ada seorang gadis kecil yang memanggilnya kakak, dan di hadapannya ada seorang lelaki yang ia tahu mencintainya. Tergesa-gesa Rania menuntun Tisha masuk ke dalam kamar. “Tisha nggak boleh ke luar kamar dulu, sebelum Kak Ran datang.” Sambil mendudukkan Tisha di tepi ranjang, Rania melangkah menuju pintu, “Di depan ada tamu. Kak Ran nanti bakal temui kamu lagi.” Rania memperhatikan wajah adiknya sekali lagi.
“Kamu kenapa datang lagi, Re?” gadis itu langsung secara terang menanyakan alasan kedatangan pemuda yang dipanggil “Re.”
“Tolong jangan jadikan Tisha sebagai dalih kamu untuk menghindar dariku…” kata pemuda berambut gondrong di depan Rania. “Ran, kita ini nggak adil kalau kamu minta aku jauhin kamu padahal kamu tahu aku udah punya niat serius sama kamu,” ujar Rehan lagi.
“Jauh-jauh hari aku udah bilang, mending kita pisah..” Rania mendorong tubuh Rehan menuju pintu keluar. Ia tidak mau kalau sampai Tisha mendengar keributan ini. “Aku cuma pengen jadi Kakak yang terbaik buat Tisha. Kami cuma berdua, dan aku nggak bisa tinggalin dia, Re…” terakhir kali kalimat itu sampai, Rania buru-buru menutup pintu sekaligus mengunci.
Rehan terus mengetuk pintu tanpa asa. Bahkan pemuda itu masih tahan bila harus berdiri tiga jam lagi di depan pintu bercat hijau daun, tepat di hadapannya. “Udah pulang aja, Re. Urusin pernikahan kamu yang segera dimulai,” kata Rania dengan suara agak meninggi.
Merawat Tisha adalah kebagiaan tersendiri yang tersisa. Bagaimana pun kiat yang harus dilakukan Rania agar Tisha bisa kembali melihat dunia dan ribuan warna yang perlu dia kenal dalam hidup. Sebagai seorang kakak, Rania mesti berusaha demi adiknya yang punya impian besar tentang dunia.
“Tisha pasti akan bisa melihat, sayang. Kak Ran pergi dulu, ya,” ucap Rania, berupa perizinan. Sebentar lagi Tisha akan bisa terpesona oleh gemerlap warna yang akan mengisi dunianya. Dengan mengecup kening gadis berusia delapan tahun itu, Rania mantap menapak kaki lagi.
Ibu di dalam mobil Avanza hitam yang berada di taman kota tampak berjalan didampingi amplop uang di tangannya. Rania lekas menyambut dan memeluk Ibu itu, “Rania sudah meninggalkan, Re..” ujar Rania pelan.
“Bagus, Ran. Ini.” Ibu paruh bayang yang dipeluk Rania menyerahkan amplop di tangannya. “Uang ini cukup untuk biaya operasi mata Adik kamu. Sekali lagi Tante minta maaf, karena Re memang harus menikah dengan Vania. Mereka sudah saling dijodohkan sejak kecil. Semenjak pernikahannya, Re jarang tersenyum seperti dulu semasa masih hubungan sama kamu..” cerita Ibu Dhea, mama Rehan.
“Yang memang terjadi harus terjadi, Tante…” Gadis mungil yang membayangkan bahtera mantan pacar yang amat dicintainya menjadi sedikit perih. Mau apa? Rania pun tak mampu berbuat banyak. “Maaf, Rania nggak bisa lama-lama di sini. Sekali lagi Rania bener-bener terima kasih. Bantuan dari tante nggak akan Rania lupain..” sambungnya. Rania cepat berlalu dari sana.
Perban mata dan kapas yang menutupi mata Tisha akan segera dibuka. Setelah menjalani operasi, Rania berharap adiknya akan dapat melihat. Mata kecil itu membuka serta mengerjap. Tiba-tiba saja Tisha memeluk Rania yang berada di sisinya. Dunia gadis kecil yang selama ini bersama Rania akan berubah. Banyak warna yang bisa ia lihat dan membuatnya merasa baru dilahirkan.
“Tisha udah bisa lihat, Kak,” Tisha sangat girang dan luar biasa bahagia. Mimpinya yang rindu cahaya, akhirnya terwujud. “Mimpi kamu udah terwujud, Sa. Kakak seneng untuk kamu..” dengan kasih yang tak kurang.
Rania lalu menuntun adiknya dan mengajak pergi setelah berbenah. Bola mata itu berhenti kala menjaring seorang lelaki berambut gondrong dan seorang wanita bersama lelaki itu memasuki ruang kandungan. Ia kenal, bahkan sangat. Rania tersenyum walaupun cinta yang ia punya belum senyap dan pudar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar